
ROHIL – Sebuah puisi berjudul “Gundul Kepala Demi Kelapa” karya Elviriadi, penulis produktif sekaligus pemerhati lingkungan, menyita perhatian publik. Melalui bahasa puitis, ia menyoroti kerusakan hutan yang kian marak akibat keserakahan manusia.
Dalam bait-baitnya, Elviriadi menggambarkan tragisnya alam negeri ini: hutan yang habis digunduli, sungai yang tersumbat limbah, hingga satwa yang perlahan hilang dari habitatnya. “Apa tanda Melayu berpantang, merosak alam ia jauhi,” tulisnya, seakan mengingatkan kembali pada kearifan lokal yang kini mulai pudar.
Menanggapi karya itu, seorang jurnalis Anggi Sinaga menilai puisi Elviriadi bukan sekadar untaian kata, melainkan jeritan nurani. “Puisi ini ibarat cermin yang menampar. Kita diajak bercermin, apakah demi ‘kelapa’—lambang keuntungan sesaat—kita rela kehilangan mahkota alam yang jauh lebih berharga?” katanya.
Anggi menambahkan, karya semacam ini penting dipublikasikan karena menyentuh sisi emosional publik. “Dalam kacamata jurnalistik, puisi seperti ini bisa menjadi jembatan komunikasi publik. Bahasa sastra menggugah hati, sementara fakta di lapangan menegaskan betapa benarnya isi karya itu,” ujarnya.
Bagi Elviriadi, menjaga alam adalah idealisme yang harus diperjuangkan meski penuh pengorbanan. Baginya, biarlah kepala gundul, asal hati tetap riang karena idealisme terjaga. Pandangan itu disambut Anggi yang menegaskan bahwa perjuangan lingkungan tidak boleh berhenti pada kata-kata, melainkan harus ditindaklanjuti menjadi kesadaran kolektif.
Puisi ini pada akhirnya menjadi peringatan moral: ketika hutan hilang, bukan hanya satwa yang punah, melainkan juga harga diri bangsa yang ikut terkikis.**




Komentar