
Pekan Baru,Derap1news – Kebebasan pers di Indonesia kembali mendapat ujian berat. Penangkapan jurnalis muda sekaligus mahasiswa Universitas Riau, Khariq Anhar, oleh Polda Metro Jaya menuai kecaman luas dari berbagai kalangan. Kasus ini dipandang sebagai bentuk kriminalisasi terhadap profesi wartawan dan tamparan keras bagi demokrasi.
Khariq ditangkap pada Kamis (28/8/2025) di Bandara Soekarno-Hatta ketika hendak pulang ke Pekanbaru. Ironisnya, surat penetapan tersangka baru dikeluarkan keesokan harinya, Jumat (29/8/2025), sementara surat perintah penangkapan baru terbit Sabtu (30/8/2025). Prosedur ini dinilai melanggar prinsip hukum.
Ia dijerat dengan pasal-pasal karet dalam UU ITE, mulai dari Pasal 32 hingga Pasal 51, hanya karena unggahan satire di akun Instagram pribadinya. Direktur LBH Pekanbaru, Andri Alatas, menilai tuduhan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Itu hanya satire, permainan teks. Tidak ada unsur pidana. Penahanan Khariq adalah upaya membungkam suara kritis mahasiswa sekaligus wartawan,” tegas Andri.
Status Jurnalis yang Diabaikan
Khariq bukan sekadar mahasiswa, ia adalah pewarta resmi media Utamapost.com dengan identitas pers yang sah. Pimpinan Redaksi Utamapost, Zulnafrizen, mengecam keras langkah kepolisian yang dianggap tergesa-gesa.
“Jurnalis itu melekat pada profesinya. Polisi terlalu ceroboh dan terburu-buru. Ini bentuk arogansi sekaligus pelecehan terhadap kerja jurnalistik,” ujarnya.
Ancaman terhadap Demokrasi
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran serius akan mundurnya demokrasi di Indonesia. Kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang Pers seolah dikesampingkan. Wartawan yang menjalankan tugasnya untuk menyuarakan kepentingan publik justru diperlakukan sebagai kriminal.
Berbagai organisasi mahasiswa, aliansi media, dan lembaga bantuan hukum menyerukan agar aparat menghentikan kriminalisasi terhadap Khariq.
“Kebebasan pers tidak boleh dikompromikan. Jika jurnalis dibungkam, maka kebenaran ikut terkubur,” ujar salah satu keluarga Khariq.
Ditahan Hingga 18 September
Saat ini, Khariq ditahan di Rutan Polda Metro Jaya selama 20 hari, hingga 18 September 2025. Namun gelombang solidaritas terus menguat, dengan desakan agar aparat penegak hukum menghentikan praktik kriminalisasi terhadap insan pers.
Kasus Khariq bukan sekadar menyangkut seorang mahasiswa, melainkan menyangkut masa depan seluruh jurnalis di Indonesia. Jika praktik semacam ini dibiarkan, maka setiap pewarta bisa sewaktu-waktu dijadikan tersangka hanya karena kritiknya, hanya karena tulisannya, hanya karena suaranya.(Rilis)**




Komentar