
Pekan Baru ,Derap1News, – Kebijakan pemerintah yang membuka peluang pengelolaan kebun kelapa sawit di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) menuai kritik tajam dari organisasi masyarakat Pemuda Tri Karya (PETIR). Mereka menilai keputusan ini mencerminkan kekacauan tata kelola lingkungan dan ketidak konsistenan negara dalam menegakkan hukum.
“Pemerintah sudah kacau. Aturan yang seharusnya ditegakkan kini bisa diubah atas nama kekuasaan,” tegas Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PETIR, Jackson, dalam pernyataan resminya di Pekanbaru, Sabtu (12/7/2025).
Jackson menilai, pengambilalihan lahan sawit oleh PT Agrinas Palma Nusantara, sebuah perusahaan BUMN, justru bertolak belakang dengan komitmen pemerintah dalam memulihkan kawasan konservasi. Ia mempertanyakan dasar hukum dan legalitas pengelolaan tersebut, yang disebut-sebut akan mencakup hingga 3 juta hektare lahan sawit secara nasional.
“Kalau seperti ini, kenapa tidak diberikan saja kepada masyarakat yang sudah lama tinggal di sana?” kritik Jackson.
“Kami awalnya mendukung pemulihan TNTN sebagai habitat satwa liar. Tapi sekarang malah disulap jadi kebun sawit rakyat atas nama hukum.”
PETIR Desak Transparansi Pertanyakan Legalitas PT Agrinas
Menurut PETIR, langkah pemerintah mengalihkan pengelolaan kepada PT Agrinas tanpa keterbukaan regulasi justru berpotensi menjadi alat legalisasi penguasaan lahan oleh pihak tertentu.
> “Pemerintah harus terbuka. Kami belum tahu apa dasar hukumnya. Jangan sampai ini hanya menjadi alat legalisasi oleh segelintir elit,” tegas Jackson.
Sementara itu, Komandan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), Mayjen TNI Dody Triwinarto, dalam audiensi bersama Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI di Pekanbaru, Kamis (10/7/2025), menyampaikan bahwa kebijakan ini dilakukan dengan sistem zonasi.
“Treatment-nya berbeda. Kawasan konservasi akan dikembalikan ke fungsi hutan. Sementara yang di Hutan Tanaman Industri (HTI) dan eks HTI akan dikelola negara melalui BUMN,” jelas Dody.
Satgas PKH mencatat luas lahan sawit yang telah digarap di dalam TNTN mencapai 85.000 hektare. Dody menegaskan bahwa pengembalian fungsi kawasan konservasi penting demi kelestarian satwa langka seperti gajah dan harimau sumatera.
PETIR : Penegakan Hukum Lemah ,Rakyat Lokal Tak Dilibatkan
PETIR menilai pendekatan zonasi tak menyentuh akar masalah: lemahnya penegakan hukum dan minimnya keterlibatan masyarakat lokal. Kebijakan ini, menurut mereka, bukan solusi ekologis, tapi kompromi kekuasaan yang mengorbankan prinsip lingkungan hidup dan keadilan sosial.
> “Jika benar serius menyelamatkan TNTN, pemerintah seharusnya memperkuat penegakan hukum dan melibatkan masyarakat lokal, bukan justru memberi jalan bagi BUMN untuk ambil alih,” pungkas Jackson.
Sumber : Riausatu.com




Komentar