
Jakarta, derap1news – Penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Sarana Pembangunan Rokan Hilir (SPRH) tengah menjadi sorotan tajam. Sejumlah pihak menyampaikan keprihatinan atas belum adanya penetapan tersangka terhadap dua tokoh utama yang diduga bertanggung jawab, yakni Rahman SE selaku Direktur Utama PT SPRH saat ini, dan Afrizal Sintong, mantan Bupati Rokan Hilir sekaligus pemilik saham SPRH pada periode sebelumnya.
Praktik korupsi dan penyalahgunaan anggaran diduga semakin marak di bawah kepemimpinan Afrizal Sintong (periode 2020–2024), yang juga dikenal sebagai Epi Sintong. Minimnya transparansi pengelolaan dana mencuat setelah ditemukan sejumlah penyimpangan dana Participating Interest (PI) 10% dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) senilai sekitar Rp488 miliar yang ditransfer ke rekening PT SPRH pada 31 Desember 2023.
Namun, hanya berselang sedikit waktu, yakni pada 7 Februari 2024, SPRH mentransfer dividen sebesar Rp70 miliar ke Kas Daerah (Kasda) tanpa audit dari Kantor Akuntan Publik dan tanpa mengikuti prosedur keuangan yang berlaku.
Dana sebesar Rp250 miliar dari SPRH juga diketahui ditempatkan di Bank Riau Kepri Syariah dalam bentuk pemblokiran sejak 10 Januari 2024 dengan jangka waktu 12 bulan. Dalam program promosi “Bedelau“, SPRH menerima hadiah berupa dua unit Pajero, tujuh unit Expander, tiga unit motor Beat, dan ribuan lembar kain dengan nilai total Rp4,03 miliar. Namun, untuk mencairkan kebutuhan mendesak, blokir dana dibuka lebih awal pada 30 Desember 2024. Akibatnya, PT SPRH dikenakan denda penalti sebesar Rp1,5 miliar.
Ironisnya, setelah dipotong penalti, nilai bersih hadiah yang diperoleh hanya sekitar Rp2,53 miliar. Artinya, pemberian kendaraan dan barang lainnya sebenarnya dibayar dari kerugian dana perusahaan, bukan benar-benar gratis dari program bank.
Lebih jauh, penggunaan kendaraan hadiah pun menimbulkan polemik, di mana dua unit Pajero diketahui digunakan oleh Direktur Utama SPRH dan Sekretaris Daerah Rokan Hilir, sementara tujuh unit Expander dibagikan kepada pejabat internal SPRH hingga keluarga Bupati dan tokoh organisasi lokal.
Jika dibandingkan dengan tawaran investasi bank lain yang menawarkan bunga lebih dari 5% per tahun (setara 0,41% per bulan), PT SPRH diperkirakan mengalami potensi kehilangan pendapatan bunga lebih dari Rp10 miliar akibat kebijakan pemblokiran dana tersebut.
Tidak hanya itu, dugaan penyalahgunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) tahun 2024 senilai Rp19,5 miliar juga mencuat. Berdasarkan laporan masyarakat dan pengurus lembaga keagamaan penerima CSR, hanya 10–30% dana yang benar-benar dicairkan dari total nilai yang tertera dalam kuitansi. Misalnya, dalam kasus bantuan untuk sebuah masjid, dari Rp200 juta yang tertulis, hanya Rp27 juta yang benar-benar diterima.
Sebagai bentuk tekanan moral, ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Rokan Hilir (Ipemarohil) Jakarta menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Jakarta.
Aksi tersebut dipimpin langsung oleh Syarifuddin, Ketua Umum Ipemarohil Jakarta, yang mendesak Kejaksaan Agung untuk segera menetapkan Rahman SE sebagai tersangka.
Dalam orasinya, Syarifuddin menegaskan bahwa lambannya proses hukum membuka peluang semakin besarnya kerugian negara dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
“Kami menuntut Kejaksaan Agung RI bertindak tegas dan profesional. Jangan biarkan koruptor bersembunyi di balik kekuasaan. Kami di sini untuk membela keadilan bagi masyarakat Rokan Hilir,” ujar Syarifuddin selaku ketua IPEMAROHIL Jakarta kepada Media Derap1news
Massa aksi juga membawa berbagai poster bertuliskan “Direktur Utama kebal hukum indonesia”, “Tetapkan tersangka dalam proses dugaan korupsi Rp488 miliar“.
Meski Polda Riau telah menangani penyelidikan atas kasus ini, pihak Kejaksaan Agung RI dinilai lamban dalam mengambil tindakan tegas. Padahal, Rahman SE telah dipanggil Kejaksaan sejak 4 Desember 2024. Hingga akhir April 2025, belum ada penetapan tersangka, memunculkan kecurigaan adanya intervensi atau ketidakseriusan dalam penanganan kasus ini.
Masyarakat dan berbagai elemen organisasi sipil mendesak Kejaksaan Agung RI untuk segera menetapkan status tersangka kepada Rahman SE, mengingat kerugian negara yang timbul semakin membengkak, dan dugaan penyalahgunaan keuangan perusahaan daerah makin tidak terkendali. Pada awal tahun 2025 saja, tercatat sudah lebih dari Rp100 miliar dana PT SPRH yang dikeluarkan tanpa program yang jelas.
Keterbukaan, transparansi, dan ketegasan hukum menjadi harapan masyarakat Rokan Hilir untuk membongkar kasus ini hingga tuntas. Penanganan yang cepat dan adil diyakini tidak hanya menyelamatkan keuangan daerah, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi negara